Minggu, 14 Juni 2009

Pendahuluan

Pendahuluan
Poster
Poster adalah gambar pada selembar kertas berukuran besar yang digantung atau ditempel di dinding atau permukaan lain. Poster merupakan alat untuk mengiklankan sesuatu, sebagai alat propaganda dan protes serta maksud-maksud lain untuk menyampaikan berbagai pesan. Selain itu poster juga dipergunakan secara perorangan sebagai sarana dekorasi yang murah meriah terutama bagi anak muda. (Ensiklopedia Wikipedia)
• Poster adalah iklan atau pengumuman yang diproduksi secara masal. Poster pada umumnya dibuat dengan ukuran besar di atas kertas untuk didisplay kepada khalayak. Sebuah poster biasanya berisi gambar ilustrasi degan warna-warna yang indah dan beberapa teks maupun memuat trademark. Sebuah poster biasanya berguna secara komersial untuk mengiklankan suatu produk, suatu kegiatan, acara entertainment, even-even tertentu maupun sebagai alat propaganda. Namun banyak juga poster yang dibuat hanya untuk tujuan seni maupun sebagai hiasan. (Ensiklopedia Encarta – edisi 2004).
• Poster adalah satu bagian seni grafis yang memiliki gaya, aliran, maupun trend tersendiri yang tidak lepas dari tingkat penguasaan teknologi serta gaya hidup dari suatu zaman. Oleh karena poster dibuat untuk menyampaikan pesan atau informasi, maka poster menjadi elemen dalam Desain Komunikasi Visual.


Pergerakan Poster JIFFEST
1999: Lahirnya Sebuah Festival Film Internasional di Jakarta

Setahun setelah jatuhnya Orde Baru (Mei 1998), semangat perubahan masih hangat terasa. Bagi pecinta film seperti Shanty Harmayn dan Natacha Devillers yang saat itu bekerja sama di Salto Films dan bermukim di Jakarta, ada pertanyaan besar yang mengusik: “Kapan saatnya Jakarta memiliki festival film berskala Internasional?” Saat itu Singapore International Film Festival (SIFF) telah berusia 12 tahun, sementara Pusan International Film Festival (Korea) meski baru berusia tiga tahun mulai menarik perhatian kalangan perfilman Asia dan dunia. Thailand dan Filipina juga sudah meluncurkan festival film internasional mereka: Bangkok International Film Festival (September 1998) dan Cinemanila (Juli 1999). Shanty Harmayn dan Natacha Devillers pun memutuskan untuk mewujudkan Jakarta International Film Festival (JIFFEST) di bulan November tahun 1999.

Selama delapan hari (20-28 November 1999), JIFFEST menghadirkan 65 judul film dari beragam negara, termasuk Indonesia. Shanty Harmayn dan Natacha Devillers menulis di kata sambutan mereka, “Penonton yang terhormat, Andalah masa depan Jakarta International Film Festival dan kunci kebangkitan industri film nasional, karena pembuat film yang baik hanya bisa dilahirkan dari penonton yang baik pula.” Dan sejarah JIFFEST pun mencatat, pada tahun perdana kehadirannya tak kurang dari 18 ribu penonton menyaksikan film-film pilihan dari 25 negara. Di akhir festival, film dokumenter mengenai Indonesia produksi Belanda arahan sutradara Bernie IJdis, “Jalan Raya Pos” terpilih sebagai film yang paling diminati penonton saat itu.




2000: Jiffest di Milenium baru

Pada penyelenggaraan Jakarta International Film Festival yang kedua (3-12 November 2000), jumlah film meningkat menjadi 104 judul (31 negara). Di tahun ini, JIFFEST juga menjadi ajang pemutaran perdana tiga film layar lebar arahan para sutradara muda Indonesia: (1) “Pachinko” (sutradara: Harry Dagoe Suharyadi), (2) “Culik” (sutradara: Teddy Soeriaatmadja), (3) “Sebuah Pertanyaan untuk Cinta” (sutradara: Enison Sinaro). Selain itu JIFFEST menghadirkan segmen “Indonesia Through Foreign Lenses”.

Kali ini, JIFFEST berhasil mengundang minat 32 ribu penonton. Film karya sutradara Australia, Peter Weir, “The Year of Living Dangerously” (tentang kejatuhan presiden Sukarno) menjadi pilihan mayoritas penonton. Dua film Iran, “Leila” (tentang seorang istri yang mandul, karya sutradara Dariush Mehrjui) dan “The Blackboard” (kisah perjuangan seorang guru, karya sutradara Samira Makmalbaf) juga masuk ke dalam “Top List” penonton.


2001: Mempertanyakan Identitas Indonesia Melalui Film

Tahun 2001, JIFFEST (26 Oktober- 10 November) menyajikan 103 judul film dari 32 negara. Tema Jakarta International Film Festival kali ini adalah “Indonesian Identity through Film: Past and Present.” Tantangan tahun ini adalah naiknya harga tiket dari Rp. 7500 di tahun-tahun sebelumnya menjadi Rp. 12500. JIFFEST yang tahun ini menapaki tahun ketiga menghadirkan segmen “Issues in Islamic Contemporary Society”. Kali ini JIFFEST hanya mengadakan pemutaran perdana untuk satu judul film Indonesia, “Viva Indonesia” (karya bersama: Nana Mulyana, Lianto Luseno, Ravi Bharwani, Asep Kusdinar).

Di antara tamu JIFFEST, hadir sutradara Iran Jafar Panahi (“The Circle”-berkisah tentang lingkaran setan yang dihadapi tiga perempuan setelah keluar dari penjara). Keragaman minat penonton terlihat dari pilihan-pilihan utama mereka kali ini, di posisi puncak “Top List” terpilih film, “Me, You, Them” (sutradara: Andruscha Waddington, Brazil) sebuah drama komedi tentang seorang perempuan dan petualangan cintanya yang nekat. Penonton juga memilih, “The Circle”, “Amelie” (Jean-Pierre Jeunet, Perancis), dan “Dancer in the Dark” (Lars Von Trier, Denmark). Jumlah penonton tahun ini mencapai lebih dari 43 ribu orang.


2002: Perayaan Keragaman Budaya

Memasuki tahun keempat penyelenggaraannya (24 Oktober- 3 November), Jakarta International Film Festival menawarkan 120 judul film dari 29 negara. Pada tahun ini dialog antara para pembuat film dan penonton (segmen “Meet the Filmmaker”) diadakan di Goethe House. Penonton menaruh minat besar pada film dokumenter arahan James Nachtwey (Swiss),“The War Photographers”. Ajang pertemuan dengan James Nachtwey dipadati para peminat film juga para fotografer profesional. Film “Tato” arahan Hanny Saputra menjadi film Indonesia satu-satunya yang diputar secara perdana di JIFFEST kali ini.

Selain James Nachtwey beberapa tamu JIFFEST tahun ini antara lain Phillip Cheah (director SIFF) dan Anuragh Singh (sutradara, India), dan Vicenzo Marra (Italia). Jumlah penonton mendekati angka 19 ribu.


2003: Memahami Perubahan

Tahun kelima Jakarta International Film Festival (14 Oktober-19 Oktober) adalah penyelenggaraan JIFFEST yang tersingkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Penyelenggara mengalami kesulitan pendanaan. Hal ini dipicu oleh peristiwa besar dalam negeri seperti meledaknya bom di Bali. Sementara tragedi meledaknya Twin Towers pada tanggal 11 September 2002 masih segar di dalam ingatan siapapun. Beragam kesulitan yang dihadapi penyelenggara nyaris membatalkan kehadiran JIFFEST 2003. Belum lagi adanya ancaman bom di beragam kota di Indonesia yang mengakibatkan keengganan masyarakat untuk keluar rumah. Namun dukungan dari beragam pihak juga tak kalah kuat, meski pendanaan tetap tak memungkinkan untuk menggelar JIFFEST dalam skala besar. Penyelenggara menyadari bagaimanapun komitmen JIFFEST terhadap penonton tak bisa dipungkiri. Akhirnya, ditempuh jalan tengah: menyelenggarakan JIFFEST dalam skala sederhana. Keprihatinan ini juga tercermin dari tema-tema film yang diputar di JIFFEST kali ini, seperti “Bowling for Columbine” (Michael Moore, USA) dan “11 September” (Perancis). Berbeda dari sebelumnya, JIFFEST tahun kelima tidak berupaya sekedar menghibur tapi justru mengajak penonton untuk bercermin pada realita sosial yang terjadi saat itu. Di posisi film terfavorit tahun itu adalah “Magdelene Sisters” (Peter Mullan, Inggris), sebuah drama bernuansa ‘gelap’ tentang para murid wanita di sebuah asrama Katolik. Penonton kali ini berjumlah sekitar 7400 orang.


2004: Semangat Anak Muda

Tahun 2004 (3-12 Desember), JIFFEST kembali dengan semangat baru dibandingkan tahun sebelumnya. Tak ada lagi satu tema yang dipilih untuk penyelenggaraan JIFFEST kali ini. Dari hasil evaluasi, pemilihan satu tema ternyata justru terasa membatasi keragaman pemilihan film dan programming pada umumnya. JIFFEST tetap memilah film-film dan aktifitasnya ke dalam beberapa segmen. Kali ini segmen yang diangkat adalah “Spirit of Youth”. Tema ini dipilih karena film-film bertema anak muda, khususnya remaja saat itu sedang mengalami ‘booming’ baik di dalam maupun di luar negeri. Kontribusi pembuat film muda terhadap industri film juga jelas terlihat, dan tema ‘coming of age’ di beragam negara dianggap menarik untuk diamati. Sebanyak 133 judul film dari 35 negara diputar sepanjang JIFFEST keenam ini. Film “Dirty Pretty Thing” yang bercerita tentang nasib kaum pendatang di Inggris (arahan Stephen Frears, Inggris) jadi pilihan mayoritas penonton. Film Indonesia yang diputar tahun ini adalah”Yasujiro Journey” arahan Faozan Riza dan “Impian Kemarau” (“The Rainmaker”) karya Ravi Bharwani. Pemutaran perdana internasional “Impian Kemarau” dilangsungkan di Pusan pada bulan Oktober.

Salah satu tamu istimewa kali ini adalah sutradara Korea, Lee Chang Dong yang tak hanya membawa film-filmnya ke hadapan penonton Indonesia (“Green Fish”, “Peppermint Candy”, “Oasis”) tapi juga berbagi pengalaman mengenai bangkitnya industri perfilman Korea. Perjumpaan Lee Chang Dong dengan para pembuat film Indonesia memberikan kontribusi pada kelahiran konsep ‘komite sinema’ di Indonesia yang masih sedang dicoba untuk dirumuskan dan digarap bersama oleh para pembuat film tanah air. JIFFEST 2004 ini dihadiri sekitar 26 ribu penonton.


2005: Bagian Khusus Untuk Fim Dokumenter

Festival Film Internasional Jakarta/ JiFFest ke-7 telah berlangsung dari tanggal 9- 18 Desember 2005. Karena film- film dokumenter telah berkembang dengan pesat dalam lingkup dan popularitas dalam beberapa ahun terakhir ini, maka untuk pertama kalinya, tahun ini JiFFest membuat bagian khusus untuk film dokumenter. Untuk merayakan bagian khusus tersebut, semua film dokumenter diputar secara gratis.

JiFFest yang ke-7 dibuka dengan pemutaran film pemenang beberapa penghargaan dari Perancis/ Moroko, 'Le Grand Voyage' oleh sutradara Ismael Ferroukhi. Sedangkan JiFFest ditutup dengan pemutaran film yang terjual habis 'The Downfall', sebuah produksi Jerman dari sutradara Oliver Hirschbiegel.

Di tahun ke-7 ini, JiFFest telah berhasil menarik perhatian 47,000 penonton, jumlah tertinggi sampai saat ini.

2006: Tahun Lollipop

Jakarta International Film Festival (JiFFest) ke-8 berlangsung pada 8 – 17 Desember 2006. Lollipop yang penuh warna diangkat sebagai logo utama yang terpampang menyebar di Jakarta, merefleksikan tema penuh warna dari film-film yang diputar JiFFest pada Djakarta Theter XXI yang baru saja direnovasi, eX Studio XXI yang nyaman terletak, Kineforum TIM 21 dengan format barunya, dan pusat-pusat kebudayaan seperti GoetheHaus, Erasmus Huis, dan Istituto Italiano de Cultura. Lebih dari 230 film dari 35 negara dihadirkan untuk 63,000 penonton JiFFest tahun ini, sebuah kenaikan 34% dari 47,000 penonton di tahun 2005.

Untuk pertama kalinya, JiFFest menggelar Kompetisi Film Panjang Indonesia. 31 film Indonesia yang dirilis sepanjang tahun 2006 berkompetisi untuk mendapatkan US$ 5,000 yang diserahkan masing-masing untuk pemenang Sutradara Terbaik dan Film Terbaik. Para juri yang terdiri dari Teuoka Sozo (programmer Tokyo International Film Festival, Jepang), Jan Vandierendonck (Kepala Eurimage, Belgium) dan Andre Bennett (distributor, Canada)

Di luar dari kompetisi di atas, JiFFest dan Movies That Matter Foundation of Amnesty International turut menggelar kompetisi untuk film-film Human Rights. Penghargaan Movies That Matter Award jatuh pada A Hero’s Journey yang disutradarai Grace Phan dari Singapura dan mendapatkan uang sejumlah Euro 5,000 yang akan dialokasikan untuk pendistribusian film ini di Indonesia.

Festival dibuka oleh film Babel, arahan Alejandro Gonzalez Inarritu, yang memenangkan penghargaan Best Director di Cannes Film Festival. Dibintangi Brad Pitt dan Cate Blanchett, film tersebut menghibur para tamu JiFFest’s Red Carpet Opening Night Party yang diselenggarakan di Club XXI, Djakarta Theatre. Film penutup, Black Book, adalah film yang mewakili Netherland untuk Academy Awards 2007 kategori Best Foreign Language.


2007: Kuda Penuh Warna

Di tahun ke-9, Jakarta International Film Festival (JiFFest) diselenggarakan dari tanggal 7-16 Desember 2007. Sekitar 180 film dari 33 negara diputar di Djakarta XXI, Blitz Megaplex di Grand Indonesia, Kineforum di Taman Ismail Marzuki (TIM) dan pusat kebudayaan Goethe Haus dan Erasmus Huis.

Selama 10 hari penyelenggaraan festival, JiFFest berhasil menghadirkan 54.000 penonton di seluruh pemutaran dan acara-acara JiFFest lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa JiFFest masih merupakan festival film internasional terbesar di Asia Tenggara.

Film-film seperti Perempuan Punya Cerita (film penutup) dan Persepolis (film pembuka) laris dalam waktu kurang dari seminggu sejak penjualan tiket JiFFest dibuka. Film-film lain yang juga banyak diserbu peminat film antara lain Into the Wild, No Country for Old Men, A Mighty Heart, dan film-film dokumenter seperti Deliver Us From Evil serta The US vs John Lennon.

Pemutaran gratis film-film Indonesia dan Asia Tenggara juga banyak dihadiri oleh penonton, seperti film The Photograph, yang disaksikan oleh penonton dengan jumlah yang jauh lebih banyak dari jumlah kapasitas kursi yang tersedia.

Pada malam pembukaan, Gubernur DKI Jakarta yang baru dilantik, Fauzi Bowo, menyatakan dukungan penuhnya kepada JiFFest selama masa pemerintahannya. Hal ini merupakan kabar baik bagi JiFFest, terutama menjelang penyelenggaraan JiFFest ke-10 tahun depan. Tahun ini JiFFest banyak menampilkan hal baru.


Untuk pertama kalinya, JiFFest memilih film animasi sebagai film pembuka (Persepolis), dan menempatkan film Indonesia baru sebagai film penutup (Perempuan Punya Cerita). Hal lain yang juga dilakukan JiFFest pertama kali adalah pengadaan program khusus pemutaran film-film Asia Tenggara dalam “A View from the SEA”. Program ini memutar film-film baru dari Asia Tenggara, kawasan yang banyak dipuji oleh pelaku film dunia sebagai salah satu kawasan film yang sangat berkembang pada tahun-tahun terakhir ini. Seluruh pemutaran film dalam program ini dilakukan secara gratis. Film-film seperti Flower in the Pocket (Malaysia), Singapore GaGa (Singapore), The Blossoming of Maximo Oliveros (Philippines) menuai komentar positif dari media dan penonton-penonton JiFFest.

Sebagai festival film berskala internasional yang paling atraktif di Asia Tenggara, JiFFest mampu menarik minat beberapa organisasi film internasional untuk bekerja sama, seperti AFI (American Film Institute) dengan AFI Project: 20/20 yang membawa film-film seperti American Fork, Big Rig, Spine Tingler: The William Castle Story, Afghan Muscles, Cyrano Fernandez, Please Vote For Me, dan Faro: Goddess of the Waters. Organisasi lain yang hadir di JiFFest adalah World Cinema Fund dari Berlin International Film Festival, yang menghadirkan film-film seperti Atos dos Homens, Naousse, El Otro, Rome Rather than You, El Custodio, Possible Lives dan Suely in the Sky.

Selain pemutaran film, penonton JiFFest juga menyaksikan pameran foto Behind-the-Scene, yang memperlihatkan proses pembuatan film-film Indonesia terbaru. Pameran ini diadakan di Hotel InterContinental MidPlaza, Djakarta XXI, dan Goethe Haus.

Acara lainnya adalah: Producer Panel, dengan moderator Shanty Harmayn dan dipandu oleh para produser film seperti Michelle Yeh dari Taiwan dan Lorna Tee dari Hong Kong; Documentary Panel, dengan moderator Shanty Harmayn dan dipandu oleh sutradara dokumenter Pimpaka Towira dari Thailand dan Tan Pin Pin dari Singapore; dan workshop “How to Package Your DVD Release”, yang dipandu oleh Jeffrey Schwarz, CEO of Automat Pictures dari Amerika Serikat.

Dengan keseluruhan rangkaian acara ini, JiFFest 2007 merupakan acara kebudayaan yang sukses digelar di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar